Cerita Populer: Ia Tersenyum Saat Aku Menangis, Karena Itu Janji Kami Dulu
Ia Tersenyum Saat Aku Menangis, Karena Itu Janji Kami Dulu
Angin berbisik di antara reruntuhan Kuil Kuno, membawa aroma melati dan kenangan yang usang. Seratus tahun telah berlalu sejak malam tragis itu. Malam ketika Li Wei, sang jenderal muda, mengkhianati cinta abadinya, Mei Lan, demi ambisi dan tahta. Malam ketika Mei Lan, dengan air mata yang membeku di pipinya, bersumpah akan kembali, bukan untuk membalas dendam dengan pedang, tapi dengan keheningan.
Kini, seratus tahun kemudian, aku, Xiao Qing, seorang pelukis muda yang hidup di era modern, merasa tarikan kuat menuju kuil itu. Seolah ada benang tak kasat mata yang menarikku kembali ke masa lalu. Mimpi-mimpi aneh menghantuiku setiap malam. Mimpi tentang ladang bunga persik yang bermekaran, suara seruling yang merdu, dan sepasang mata yang penuh cinta, lalu berubah menjadi kebencian yang membara.
Di sebuah galeri seni, pandanganku terpaku pada lukisan seorang jenderal berpakaian perang. Li Wei. Jantungku berdebar kencang. Bukan karena kekaguman, tapi karena amarah yang tiba-tiba menyergap. Lalu, kulihat dia. Pria itu.
Lin Yi, seorang pengusaha sukses dengan senyum yang membuat lututku lemas. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Di balik senyumnya, aku melihat bayangan Li Wei.
Pertemuan kami tak terhindarkan. Semakin aku mengenalnya, semakin jelas bahwa Lin Yi adalah reinkarnasi dari Li Wei. Dia masih menyimpan sisa-sisa egonya, ambisinya, namun kali ini, terbungkus dalam jubah kemodernan.
Aku mulai melukis. Melukis mimpi-mimpiku, melukis kenangan Mei Lan, melukis kebohongan Li Wei. Lukisan-lukisanku menjadi jendela menuju masa lalu. Lin Yi terpaku melihatnya. Perlahan, ingatan masa lalunya mulai kembali.
Suatu malam, di bawah cahaya rembulan, Lin Yi mengakui semuanya. Dia mengakui pengkhianatannya, penyesalannya, dan rasa bersalah yang menghantuinya selama seratus tahun. Air matanya mengalir deras.
"Xiao Qing... Mei Lan... aku..."
Aku mengangkat tanganku, menghentikan kata-katanya. Tidak ada kata yang perlu diucapkan. Dendamku bukanlah tentang pertumpahan darah, tapi tentang pengakuan. Tentang penyesalan yang abadi.
Aku tersenyum padanya. Sebuah senyum yang tulus, penuh maaf. Lalu, aku berbalik dan pergi, meninggalkan Lin Yi yang terisak dalam kesunyian. Karena itulah janji kami dulu. Ia tersenyum saat aku menangis, dan kini, aku tersenyum saat ia menangis.
Beberapa waktu kemudian, aku mendapat kabar bahwa Lin Yi menyumbangkan seluruh kekayaannya untuk amal, mendirikan yayasan yang fokus pada pelestarian seni dan budaya. Dia memilih untuk hidup sederhana, menebus dosanya di masa lalu.
Aku melanjutkan hidupku, melukis, berkarya, dan menyebarkan cinta. Namun, di setiap langkahku, aku selalu merasa ada bisikan lembut di telingaku...
"...sampai kita bertemu lagi... di kehidupan selanjutnya..."
You Might Also Like: 0895403292432 Jual Skincare Anti_16